Pemerintah sampai saat ini terus berupaya untuk menurunkan angka penduduk yang mengalami stunting di Indonesia. Hal ini agar bonus demografi yang akan didapatkan Indonesia dapat lebih optimal. Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pada tahun 2018 menunjukan adanya perbaikan pada status gizi balita di Indonesia. Proporsi stunting atau balita pendek karena kurang gizi kronik turun dari 37,2% (Riskesdas 2013), menjadi 30,8% pada Riskesdas 2018. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%. Jika dijumlah, maka anak stunting berkisar di angka 1.478.400 jiwa.
Bonus demografi merupakan suatu kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif atau angkatan kerja (15-64 tahun) lebih besar dibanding jumlah penduduk usia non produktif. Periode bonus demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada tahun 2030-2040 dan diprediksi dapat mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan sebesar 297 juta jiwa. Dengan adanya bonus demografi, Indonesia mempunyai kesempatan yang besar dalam memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di masa yang akan datang. Dengan melihat prediksi yang ada, Indonesia masih memiliki banyak waktu untuk menyiapkan penduduk usia produktif khususnya generasi milenial sebagai sumber daya manusia yang mampu berdaya saing dan menjadi peran utama dalam pemanfaatan bonus demografi.
Bonus demografi bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua, ia mampu memberikan dampak positif dan dampak negatif pada pembangunan suatu negara. Jika suatu negara tidak melakukan pembangunan generasi mudanya sebagai penerus bangsa di masa depan, maka jumlah angka produktif yang besar pada bonus demografi bukan lagi sebuah keuntungan, melainkan hanya akan menjadi beban bagi suatu bangsa. Dampak negatif tersebut dapat berimplikasi pada meningkatnya pengangguran di Indonesia yang tidak terkendali akibat tidak terserapnya penduduk usia produktif yang ada akibat kualitas yang rendah dan kualifikasi yang tidak memenuhi standar pekerjaan yang tersedia.
Bertambahnya jumlah usia produktif yang signifikan pada bonus demografi dapat memunculkan masalah baru jika negara tidak siap dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia. Hal ini berhubungan dengan bertambahnya jumlah perokok remaja di Indonesia yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan, Indonesia sekarang mendapat julukan sebagai “Baby Smokers Countries”.
Riskesdas 2018 menunjukan bahwa terjadi peningkatan prevalensi merokok penduduk usia 18 tahun dari 7,2% menjadi 9,1%. Merokok menimbulkan berbagai penyakit yang dapat berujung pada kematian, diantaranya penyakit jantung koroner, penyakit kardiovaskular, penyakit katastropik yang memerlukan biaya yang cukup besar dalam pengobatannya. Merokok juga mengakibatkan tingginya angka kematian bayi yang disebabkan karena BBRL atau berat badan lahir rendah yang akan berimplikasi pada masalah stunting bagi anak.
Status gizi sangat berpengaruh pada kualitas kesehatan manusia. Status gizi merupakan cerminan dari terpenuhinya asupan dan kebutuhan gizi yang diterima oleh tubuh. Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi seseorang itulah yang menjadi salah satu tolak ukur kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat. Status gizi terbagi menjadi tiga, meliputi underweight (gizi kurang), wasting (kurus), dan stunting (kerdil). Underweight dan stunting adalah salah satu permasalahan kesehatan yang banyak terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Salah satu permasalahan gizi yang sedang menjadi fokus Indonesia saat ini adalah stunting atau kekerdilan. Menurut data dari Hasil Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI), prevalensi balita underweight atau gizi kurang pada 2019 berada di angka 16,29 persen. Angka ini mengalami penurunan sebanyak 1,5 persen. Kemudian prevalensi balita stunting pada 2019 sebanyak 27,67 persen, mengalami penurunan sebanyak 3,1 persen. Sementara itu untuk prevalensi balita wasting (kurus), berada pada angka 7,44 persen. Angka ini mengalami penurunan sebanyak 2,8 persen.
Stunting atau kekerdilan merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, anak menjadi mudah sakit, dan memiliki postur tubuh tidak optimal saat dewasa. Kemampuan kognitif anak juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial bagi Indonesia karena dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Tingginya tingkat stunting dan kemiskinan yang rentan terhadap penyakit, juga berdampak pada pengeluaran pemerintah terhadap pengalokasian dana untuk jaminan kesehatan rakyat sehingga hal tersebut menjadi beban bagi negara. Dalam jangka panjang, sumber daya manusia yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kualitas dan kualifikasi pekerjaan yang ada.
Stunting terjadi akibat faktor multidimensi, tidak hanya disebabkan oleh faktor asupan gizi saja, melainkan juga faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Status ekonomi rendah dianggap memiliki pengaruh yang dominan terhadap kejadian kurus dan pendek pada anak. Orang tua dengan pendapatan keluarga yang memadai akan memiliki kemampuan untuk menyediakan dan memenuhi semua kebutuhan anak. Keluarga dengan status ekonomi yang baik juga memiliki akses pelayanan kesehatan yang lebih baik daripada keluarga dengan status ekonomi rendah. Anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung mengonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta variasi yang terbatas. Melihat kondisi tersebut, kekerdilan atau stunting diidentikkan dengan kondisi kemiskinan, namun pada kenyataannya stunting tidak hanya menimpa kalangan masyarakat bawah saja. Bahkan, keluarga dengan status ekonomi yang baik juga mengalami kondisi kekerdilan atau stunting.
Masalah stunting di Indonesia dapat terjadi dalam status sosial dan ekonomi manapun, tidak pandang bulu kaya atau miskinnya suatu keluarga. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pengetahuan dan kesadaran suatu masyarakat akan pentingnya gizi. Hal ini pun membuktikan bahwa pendidikan suatu individu menjadi salah satu hal penting yang memengaruhi kesehatan, salah satunya adalah status gizi. Individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengetahui dan menerapkan pola hidup sehat.
Melihat faktor dan kondisi yang terjadi di masyarakat terhadap masalah stunting tersebut, jika tidak dihadapi dan ditanggulangi dengan serius, maka akan menjadi penghambat sekaligus tantangan bagi Indonesia dalam menghadapi bonus demografi di masa depan. Padahal untuk meraih keberhasilan bonus demografi, dibutuhkan sumber daya manusia yang produktif, bermutu, berkualitas, serta mampu berdaya saing. Jika sumber daya manusia tidak mumpuni dan berkualitas, justru bonus demografi yang terjadi bukan menjadi kebermanfaatan bagi suatu negara, melainkan menjadi boomerang bagi suatu negara.
Mengingat masalah stunting merupakan masalah multidimensi, maka masalah stunting di Indonesia harus ditangani dengan baik bukan hanya dari sektor kesehatan saja, tetapi juga melalui kerja sama dan sinergi antar sektor. Kerja sama tersebut perlu upaya yang keras, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan pemberian tambah darah pada ibu hamil. Anak yang terlahir dengan BBLR dapat diatasi dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) balita sebagai perbaikan status gizi. Pemberian imunisasi dasar lengkap dan pemberian vitamin A pada bayi juga dinilai mampu mencegah berbagai penyakit dan infeksi pada bayi sehingga dinilai efektif dalam mengurangi tingkat stunting. Kegiatan intervensi gizi spesifik ini biasanya bersifat jangka pendek dan dilakukan dalam lingkup sektor kesehatan.
Disamping kegiatan intervensi gizi spesifik, perlu juga dilakukan kegiatan intervensi gizi sensitif. Intervensi tersebut dilakukan melalui berbagai kegiatan di luar sektor kesehatan murni dengan sasaran masyarakat umum, seperti ketahanan pangan, pernikahan dini, faktor keturunan, faktor ekonomi, dan pendidikan orang tua. Hal tersebut tidak kalah penting dimana akan menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan penurunan dan pencegahan stunting.
Ketahanan pangan memiliki kaitan yang erat dengan pemenuhan gizi masyarakat. Jika suatu negara dapat menjamin ketahanan pangan bagi rakyatnya, maka pangan yang tersedia dapat terdistribusi dan sampai di tangan masyarakat dengan baik. Dalam menjaga ketersediaan pangan, diperlukan inovasi bibit-bibit tanaman yang unggul, ketersediaan air yang cukup, peningkatan pengetahuan dan teknologi pertanian, serta akses wilayah dalam mendistribusikan bahan makanan yang mumpuni. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencarian sebagai petani, maka peningkatan ketahanan pangan nasional dapat menjadi terobosan yang sangat baik dalam pemenuhan gizi masyarakat dan menjadi salah satu solusi untuk upaya pencegahan masalah stunting di Indonesia.
Faktor lingkungan berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Lingkungan yang sehat akan mendukung kesehatan ibu dan anak yang pada akhirnya berpengaruh pada penurunan risiko stunting. Stunting dapat diatasi dengan memberdayakan perempuan di dalam masyarakat maupun dalam keluarga melalui pendekatan prinsip gender. Peran perempuan dalam keluarga untuk dapat memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Dari sisi ekonomi masyarakat, pemerintah dapat menyediakan bantuan dan jaminan sosial dan kesehatan bagi keluarga miskin. Kemiskinan dan pengangguran yang berkontribusi sebagai pemicu peningkatan kasus stunting dapat diatasi dengan pemerataan lapangan pekerjaan dan pelatihan tenaga kerja yang nantinya dapat meningkatkan skill individu itu sendiri. Dengan terbukanya dan meluasnya lapangan pekerjaan, maka kesempatan bekerja bagi penduduk usia produktif semakin besar juga. Jika hal itu berjalan dengan efektif dan maksimal, dapat sangat membantu suatu individu atau keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, baik primer maupun sekunder. Masyarakat yang memiliki pendapatan dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya serta memiliki kesempatan untuk menyekolahkan anaknya di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Tidak hanya peningkatan pengetahuan bagi si anak, peningkatan pengetahuan bagi orang tua khususnya ibu juga sangat penting mengingat hal ini menjadi masalah utama dalam menghadapi stunting. Pola asuh dan pola makan anak sangat memengaruhi kejadian stunting. Umumnya pada masyarakat perkotaan, banyak fenomena ibu yang bekerja sehingga anak diasuh oleh orang lain, seperti pengasuh atau anggota keluarga yang menyebabkan pengasuhan dan pola makan anak dinilai kurang berjalan dengan baik yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Maka dari itu, peningkatan pengetahuan orang tua dapat dilakukan melalui promosi kesehatan, seperti seminar, kampanye, atau sosialisasi kesehatan di masyarakat. Kegiatan tersebut dapat diselenggarakan oleh puskesmas daerah setempat serta kerja sama dari mahasiswa dari jurusan gizi atau jurusan terkait. Goals nya, peningkatan pengetahuan dan pemahaman gizi para orang tua diharapkan dapat diimpelementasikan melalui pemerhatian pemenuhan gizi dan asupan nutrisi anak-anaknya.
Pembangunan sumber daya manusia harus mengakar dari segala aspek kehidupan, salah satunya bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan dewasa ini akan sangat menentukan keberhasilan suatu bangsa dalam memanfaatkan bonus demografi secara optimal. Kualitas kesehatan menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhatikan untuk menghadapi bonus demografi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Berbagai program pembangunan kesehatan yang dibuat dan dimplementasikan oleh pemerintah diharapkan dapat memberikan sumbangan positif dalam upaya mengoptimalkan periode bonus demografi yang akan datang.
Dalam menghadapi permasalahan stunting di Indonesia, pemerintah daerah diharapkan mampu bersinergi dengan pemerintah provinsi dalam menyukseskan program-program yang dicanangkannya. Melalui berbagai langkah strategis yang dilakukan secara sinergis, diharapkan akan lahir generasi milenial yang sehat, baik jasmani maupun rohani. Generasi yang sehat dan kuat tentunya akan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu serta berkualitas sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan sekaligus tampil dalam persaingan global yang semakin hari kian tak terhindarkan. Dengan begitu, bonus demografi yang akan Indonesia hadapi dalam beberapa tahun mendatang pun akan menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk menjadi negara yang maju dimasa mendatang dengan memanfaatkan potensi, salah satunya dari bonus demografi yang terjadi di Indonesia.
----------------
Daftar Pustaka
Jurnal Wira Ekonomi Mikroskil Volume 8, Nomor 01, April 2018
Kuncoro, Ari; Sonny Harry B. Harmadi, 2016. Mozaik Demografi : Untaian Pemikiran tentang Kependudukan dan Pembangunan. Jakarta: Salemba Empat
Noor, Munawar, “Kebijakan Pembangunan Kependudukan dan Bonus Demografi”, dalam Serat Acitya; Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang, (tth).
Jurnal Dinamika Pemerintahan Vol.2, No. 2 (Agustus 2019) Hal. 152-168
https://mediaindonesia.com/read/detail/195157-riset-kesehatan-nasional-2018-angka-stunting-turun
Comments
Post a Comment