KNOW YOUR LIMIT BEFORE IT TURNS TOXIC

"Duh capeek deh. Hmm tapi kalo dia aja bisa masa gue enggak.. Yuk semangat belajar lagi.

Waktu lo tidur mereka tu lagi pada belajar, lagi pada kerja. Bangun-bangun! Nanti mereka udah sukses lo masih begini aja.”

Kalian pernah ga sih denger kalimat-kalimat itu? Pasti sering bangett kann dan kalimat-kalimat seperti itu seringkali membuat kita insecure dan mempertanyakan kemampuan diri kita sendiri. 

Apalagi disituasi pandemi seperti sekarang, banyak waktu kosong yang membuat orang-orang membuat agenda baru, seperti melakukan aktivitas baru, mengembangkan potensi, mengikuti berbagai webinar atau kegiatan secara virtual, menjaga pola hidup sehat, dan berbagai produktivitas lainnya. Penggunaan media sosial yang meningkat selama masa pandemi menjadi wadah dimana semua orang berlomba-lomba layaknya berkompetisi membagikan suatu produktivitas yang baru dikerjakan. 

Sebenarnya tidak salah sama sekali untuk menjadi produktif, tapi secara ga sadar hal itu dapat membuat suatu individu mengukur kemampuan dirinya dengan kemampuan atau produktivitas orang lain yang padahal tidaklah sama. Hal-hal yang seharusnya menjadi sebuah motivasi ternyata malah menjadi boomerang yang berujung toxic productivity karena terbelenggu oleh ambisi dan obsesi yang menyakiti tubuh sendiri.

Lalu, sebenarnya apa sih toxic productivity itu?

Menurut psikolog asal Inggris, Dr. Julie Smith, toxic productivity adalah obsesi dalam mengembangkan diri dan bekerja yang diikuti oleh perasaan bersalah dan merasa tidak cukup dalam menyelesaikan pekerjaan seberapapun banyaknya pekerjaan yang sebenarnya telah diselesaikan.

Toxic productivity ini berhubungan juga dengan hustle culture dan workaholic. Menurut Lugina Setyawati, dosen Sosiologi Universitas Indonesia, hustle culture adalah budaya yang membuat seseorang menganut workaholic atau “gila kerja.” Workaholic sendiri adalah suatu kondisi dari seseorang yang mementingkan pekerjaan secara berlebihan dan melalaikan aspek kehidupan yang lain. Workaholic atau “gila kerja” tidak selalu mengacu kepada pekerjaan formal di sebuah institusi atau perusahaan, tetapi dapat juga mengacu pada seseorang yang aktif dan selalu sibuk melakukan aktivitas apapun. Contohnya mahasiswa bisa menjadi hustler ketika ia sangat sibuk melakukan kegiatan kemahasiswaan. 

Eitss, tapi workaholic dan pekerja keras itu berbeda lho. Orang-orang yang cenderung workaholic sangat menikmati pekerjaannya dan memprioritaskannya. Orang-orang dengan workaholism rela mengorbankan dirinya untuk bekerja tanpa melihat batasan-batasan pada dirinya. Sedangkan pekerja keras adalah seseorang yang mencintai pekerjaannya, tetapi tetap memiliki waktu untuk bersantai.

Ciri-ciri orang yang mengalami toxic productivity

  •  Tidak merasa puas terhadap sesuatu yang telah dikerjakan

Orang-orang yang mengalami toxic productivity sering tidak merasa puas terhadap hasil pekerjaannya sehingga mereka merasa perlu mengerjakan pekerjaannya lebih banyak dan memaksimalkannya sampai titik dimana mereka merasa bahwa pekerjaannya telah sempurna. Mereka cenderung sulit untuk berdiam dan beristirhat sehingga mereka akan merasa bersalah jika tidak melakukan apapun. Hal tersebut pun akan sangat mempengaruhi kesehatan baik fisik maupun mental karena mereka mengabaikan mengabaikan lingkungan dan kebutuhan sebagai manusia seperti kebutuhan untuk makan, minum, tidur, dan bersosialisasi.

  • Membuat ekspetasi yang tidak realistis

Orang dengan toxic productivity seringkali menerapkan standar yang tidak realistis yang akan membebankan diri sendiri. Misalnya, mereka akan membuat plan bahwa pekerjaannya harus dikerjakan dalam satu malam, padahal idealnya pekerjaan tersebut dapat dikerjakan lebih lama. Mereka cenderung melakukannya secara multi-tasking seperti mengerjakan tugas kuliah, merevisi proposal acara, rapat organisasi, serta webinar. Padahal hal itu merupakan hal yang mustahil bukan? Alih-alih memaksimalkan pekerjaan tetapi malah sebaliknya karena tidak bisa fokus terhadap pekerjaannya.

Tips menghindari dan mengatasi toxic productivity

  • Menyadari batasan dan kemampuan diri sendiri
  • Mengurangi kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain
  • Mindfullness & self care
  • Menetapkan goal yang realistis
  • Memberi ruang kepada diri untuk rehat
  • Berolahraga

Tidak ada salahnya untuk menjadi produktif tetapi kita juga harus menyadari batasan-batasan diri yang kita miliki. Bukan siapa yang lebih ‘sibuk’, tetapi siapa yang bisa menghasilkan output semaksimal mungkin dengan tetap mencintai diri sendiri. Memiliki keinginan untuk menjadi yang terbaik dan memaksimalkan suatu hal adalah hal yang wajar, tetapi jangan sampai hal yang diharapkan membawa kebaikan malah menjadi boomerang yang hanya membawa keburukan. 

Jangan berhenti mengejar impian tetapi juga selalu ingat apa alasan dan tujuan kita mengerjakannya. Hidup bukanlah sebuah ajang kompetisi yang berlomba-lomba menunjukkan kekuatan diri di hadapan manusia lain. Stop comparing yourself to others, protects yourself from your own thoughts:)


Comments